MENJADI PEMILIH CERDAS DI PILGUB JABAR

MENJADI PEMILIH CERDAS DI PILGUB JABAR

             Pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat tinggal menghitung waktu, tepatnya 24 Februari 2013. Kelima pasang calon telah sama-sama berikhtiar untuk merebut hati pemilih. Ada yang mendatangi pasar tradisional, membentuk relawan diberbagai daerah, silaturahmi dengan para tokoh terkemuka, mendatangi korban banjir, dan seterusnya. Muaranya adalah mereka ingin mendapat simpati dari pemilih hingga akhirnya melenggang mulus menapaki Gedung Sate.

            Sepintas pesta demokrasi seperti pemilihan gubernur dan wakilnya ini amat sederhana dan tidak harus bersusah payah. Pemilih hanya tingga datang ke TPS (bilik suara) pada waktu yang telah ditentukan lalu mencoblos salah satu pasang kandidat, dan setelah itu selesai pulalah tugas dari pemilih. Beberapa jam kemudian biasanya lembaga survey merilis pasangan mana yang memperoleh suara terbanyak. Meski secara teknis pemilihan kepala daerah itu terlihat gampang tetapi sejatinya tidak demikian. Masyarakat yang memiliki hak pilih harus berpikir kritis untuk menentukan pilihannya, sehingga kesalahan memilih dibalik bilik suara yang hanya dalam hitungan detik tidak berdampak terhadap lima tahun ke depan. Artinya, bila kita memilih dengan tidak cerdas, maka nasib Jawa Barat lima tahun ke depan menjadi taruhannya. Di sini pemilih menjadi aktor dan faktor penentu untuk masa depan yang lebih baik atau sebaliknya terjebak dalam kegagalan.

 

Pragmatisme Partai Politik

            Tak dapat dipungkiri bahwa partai politik sampai saat ini masih dipandang efektif dalam meloloskan seseorang untuk menduduki orang nomor satu di daerah. Mesin politik poartai yang sifatnya hirarkis dari pusat hingga ke daerah (kecamatan dan desa) mampu memobilisasi dan mendulang suara yang cukup signifikan. Sedangkan kandidat yang berasal dari jalur independen harus bersusah payah membangun jaringan yang memerlukan biaya tinggi (high cost).

            Pada saat pemilihan kepala daerah diserahkan sepenuhnya kepada daulat rakyat melalui pemilihan langsung, maka kehadiran figur menjadi sangat penting dari pada partai politik. Dominasi dan hegemoni partai politik yang begitu sangat kuat puluhan tahun yang lalu perlahan namun pasti mengalami degradasi.  Saat ini, partai politik hanya sekedar “sarana alternatif” bagi para politisi bahkan selebriti yang bisa “dimainkan” untuk meraih kekuasaan. Fenomena ini secara umum dapat dilihat dari dua hal: Pertama, betapa banyak kepala daerah yang memenangkan pertarungan dalam pilkada tanpa melalui partai politik (jalur independen). Kedua, banyak para artis yang tiba-tiba muncul sebagai calon kepala daerah yang justeru didukung bahkan dilamar oleh partai politik. Hal ini terlihat jelas pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat.  Realitas itu yang lalu menggelitik nalar kita untuk bertanya di mana kader-kader partai politik berada? Atau mungkin mesin partai gagal total untuk mencetak kader yang dipercaya oleh rakyat? Sungguh popularitas yang dimiliki para artis telah mengalahkan proses kaderisasi yang telah berjalan bertahun-tahun.

            Partai politik menjadi pragmatis dan kehilangan watak ideologisnya. Perjuangan partai politik hanya semata-mata mengejar kekuasaan yang di sisi lain kerapkali menutup mata atas reputasi dan integritas calon yang didukung. Realitas itu pula yang memberi preseden buruk terhadap partai politik yang gagal melahirkan kader-kader yang berkualitas tinggi dan layak jual. Partai politik yang terlalu “nafsu” dengan kekuasaan memilih jalan pintas dengan cara merekrut artis yang populer tanpa mempertimbangkan dampak destruktifnya terhadap proses pengkaderan. Bila tidak diwaspadai, kebijakan pragmatis partai akan berujung pada tiga hal: Pertama, akan menimbulkan kecemburuan sosial bagi para kader partai politik yang tersisihkan oleh pendatang baru baik dari kalangan artis maupun di luar artis yang memiliki kekuatan finansial. Kedua, semakin menguatnya politik uang yang dilakukan oleh para oponturir untuk membeli kekuasaan. Dalam pikiran mereka, untuk merebut atau meraih kekuasaan dalam proses politik tidak harus bertahun-tahun duduk dikepengurusan partai, tetapi cukup mengumpulkan uang dan “mengibaskannya” kepada partai. Ketiga, proses politik seperti ini sudah pasti berbiaya tinggi (high cost) yang akan merugikan sejumlah kader partai potensial tetapi tidak memiliki kekuatan finansial.

            Sikap pragmatis partai politik saat ini disadari atau tidak telah berdampak buruk terhadap kinerja beberapa kepala daerah dalam mengemban amanahnya. Kandidat yang lolos menduduki kepala daerah banyak yang terjebak ke dalam politik balas budi. Siapa memberi apa dan seberapa banyak pada akhirnya akan menjadi pertimbangan utama selama pemerintahannya berlangsung. Inilah yang menjadi cikal bakal malapetaka kepala daerah terjebak ke dalam perilaku koruptif. Fakta di lapangan telah membuktikan dengan jelas dan tegas, bahwa saat ini betapa banyak kepala daerah yang dijebloskan ke jeruji besi, belum lagi yang saat ini tengah dalam persidangan dengan modus utama korupsi.

 

Menjadi Pemilih Cerdas

            Demokrasi langsung dalam pemilihan kepala daerah telah menempatkan individu yang memiliki hak pilih menjadi penentu. Namun sayang kesempatan itu belum dimanfaatkan secara optimal oleh pasra pemilih. Minimnya pendidikan politik bagi masyarakat menjadi penyebab sikap pragmatis para pemilih yang menjadikan suaranya dapat dibeli dengan uang hingga ditukar dengan sembako. Di sini berlaku adagium “uang dan kekuasaan”. Artinya, siapa yang memiliki pundi-pundi uang lebih banyak akan  mendapat peluang paling mungkin untuk memenangkan pertarungan.

            Politik uang dan politik sembako dalam pemilihan kepala daerah sejatinya dapat diminimalisir  dengan cara menjadi pemilih yang cerdas. Secara teoretik, derajat pemilih yang baik (voters) memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) kalkulasi, yakni memilih dengan penuh perhitungan sehingga mengetahui dari untung-rugi pilihannya, (2) rasional, yaitu memilih berdasarkan tingkat kapabelitas calon dan aneka program yang ditawarkan, (3) penuh pertimbangan dengan melihat aneka informasi mengenai track record dan kapasitas seorang calon, (4) transaksi  sebelum memilih dengan mengajukan pertanyaan kritis, apakah calon dapat mewujudkan harapannya, (5) memandang calon secara setara, (6) bertanggung jawab atas pilihannya, dan (7) memberikan mandat pada calon, berpartisipasi aktif dan selalu melawan terhadap arus negatif.

Sementara itu, Firmanzah (2008:120-124), membagi tipologi pemillih kepada empat kelompok besar. Pertama, pemilih rasional (rational voter). Para pemilih dalam kelompok ini lebih berorientasi kepada ‘policy-problem-solving’ dan berorentasi rendah untuk faktor ideologi. Kelompok ini umumnya lebih mempertimbangkan kemampuan kandidat dalam program kerjanya yang tercermin pada kinerja masa lampau dan tawaran untuk menyelesaikan permasalahan nasional yang ada.

Kedua, pemilih kritis, yakni mereka yang memadukan antara kemampuan kandidat dalam menyelesaikan beragam persoalan dengan hal-hal yang bersifat ideologis. Mereka yang berada pada kelompok kritis ini akan selalu menganalisa kaitan antara sistem nilai partai (ideologi) dengan kebijakann yang dibuat. Tiga kemungkinan yang akan muncul bila terjadi perbedaan antara ideologi dan ‘flatform’ partai: (1) memberikan kritik internal, (2) frustrasi, dan (3) membuat partai baru.

Ketiga, pemilih tradisional, yakni mereka yang memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai atau kandidat sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan kebijakan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya,  nilai, asal-usul, paham dan agama sebagai ukuran dalam menentukann pilihan.

Keempat, pemilih skeptis, yakni mereka yang tidak memiliki orientasi ideologis tinggi dengan kandidat, juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting. Golongan putih (golput)  merupakan kelompok yang paling didominasi oleh pemilih skeptis ini. Mereka umumnya tidak perduli satas realitas politik yang berlangsung.

Dalam era kebebasan informasi dan komunikasi yang menempatkan media massa sebagai alat pendidikan politik memungkinkan terjadinya pergeseran secara cepat perilaku pemilih dari sekedar supporter menjadi voters. Tayangan-tayangan media massa dalam bentuk berita, peristiwa politik, opini politik, rekam jejak para politisi dan lain-lain telah menjadi masukan yang signifikan dalam meningkatkan pengetahuan politik masyarakat secara luas. Istilah pemilih “membeli kucing dalam karung” akan semakin berkurang, karena media massa banyak menampilkan tokoh politik dengan segala latar belakangnya. Di sisi lain, kehadiran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang melansir para politisi “busuk” karena memiliki rekam jejak buruk turut pula memberikan masukan bagi pemilih. Oleh karena itu, rakyat akan semakin cerdas kritis dalam menentukan pemimpinnya

 

 

Perspektif Hubungan Sosial

            Maraknya iklan politik diberbagai media massa, baik cetak maupun elektronik yang lebih mengedapankan politik pencitraan dapat menjadi perangkap atau jebakan bagi para pemilih. Menurut Ibrahim (2007:190), media menjadi sumber rujukan calon pemilih untuk mengenali sosok kandidat. Citra kandidat bergantung pada konstruksi citranya di media. Karena politik adalah persepsi, maka media mulai ikut mendiktekan, mendominasi, dan menyimpulkan penilaian orang akan sosok kandidat.

            Disadari bahwa tidak semua pemilih berada pada kelompok cerdas atau kritis untuk menentukan kandidat yang akan dipilihnya. Media massa kerapkali hanya menampilkan kulit luarnya bdari kandidat, terutama bagi media yang partisan dan pragmatis. Terpaan media massa yang menawarkan kandidat melalui “polesan” tertentu harus diimbangi dengan intensitas hubungan sosial. Teori hubungan sosial menekankan pentingnya peranan hubungan sosial yang informal dalam mempengaruhi reaksi orang terhadap media massa. Oleh karena itu, para intelektual, kaum akademisi, budayawan, dan terutama para tokoh di masyarakat diharapkan ikut ambil bagian dalam memberi masukan dan mencerdaskan pemilih, sehingga kesalahan dalam memilih dapat dihindari.

 

 

Wallahua’lam bishshawab.

Image

e-mail: grah_007@yahoo.com

Leave a comment